Mengisi waktu karena tak juga bisa tertidur, saya membuka gawai dan menonton film serial yang belakangan kembali saya tonton ulang. Berkisah tentang sebuah keluarga di pinggiran Inggris yang menjalankan usaha premanisme. Tontonan ini memang diperuntukkan untuk orang dewasa, makanya penuh dengan adegan kekerasan, baik verbal maupun adegan kekerasan fisik, ketelanjangan yang tak meski agak malu-malu tetapi cukup vulgar, dan kata-kata penuh caci maki dari para tokohnya.

Episode yang saya tonton kali itu mengisahkan tentang upaya tokoh utama membalaskan kematian istri yang belum lama dia nikahi. Setelah menemui banyak aral melintang, akhirnya tertangkap juga pelaku pembunuhan itu yang sekaligus menjadi rival bisnisnya. Si pesakitan ini diikat dalam posisi terduduk di atas sebuah kursi kayu. Tokoh utama berkomat-kamit membahas tentang bagaimana cara terbaik untuk menghabisi nyawa orang yang dicintainya itu.

Dia bingung untuk memutuskan cara terbaik sekaligus terkejam, karena menurutnya, dendam yang dia simpan harus dibalaskan secara megah dan memuaskan. Apakah dengan cara dipotong lidahnya terlebih dahulu? Tidak, katanya. Karena dia ingin si pelaku, di tengah kesakitan yang menderanya, dapat menjelaskan kenapa harus istri si tokoh utama yang mati. Apakah matanya yang harus dicongkel terlebih dahulu? Tidak juga, ujarnya. Karena pelaku bisa mati terlalu cepat akibat pendarahan hebat jika matanya yang dicongkel. Ketika si tokoh utama membulatkan tekad dan meyakin-yakinkan dirinya bahwa dia mampu untuk menjadi binatang demi membalaskan dendam, tiba-tiba kakak si tokoh utama mencabut pistol dan menembak kepala orang yang terikat di kursi.

“Kita bukan orang semacam itu,” katanya tegas.

Saya menyela tayangan di gawai saya dengan menekan tombol ‘pause’. Untuk beberapa saat, saya yakin benar bahwa semalam saya merasa kecewa dengan adegan pembalasan dendam yang menurut saya kok biasa saja. Kematian yang dendamnya dibalaskan ini bukan kematian sembarang orang. Melainkan kematian istri tercinta si tokoh utama. Lha kok cuma di-dor begitu lalu kelar? Kurang sip, batin saya.

Sadar tak bisa berbuat apa-apa engan skenario yang ditulis oleh para pembuat film seri seru ini, saya melanjutkan menonton hingga kelar satu episode, lalu beranjak tidur.

Kira-kira pukul setengah empat pagi, saya terbangun. Dan entah kenapa, episode yang saya tonton semalam, khususnya adegan balas dendamnya terasa kurang memuaskan. Sampai-sampai membuat saya enggan untuk melanjutkan satu episode sebelum berangkat ke kantor.

Kurang sadis? Saya menyadari ada sesuatu yang keliru dengan diri saya. Lalu pikiran saya merambat jauh sampai memikirkan beberapa tontonan yang saya anggap bagus hingga menjadi kesukaan saya. Dan kesemuanya mempunya benang merah: tokoh utama yang brengsek, melakukan hal-hal keji kepada banyak orang, tetapi digambarkan seolah-olah sebagai karakter yang baik dan yang seharusnya demikian.

Tengok saja film-film yang belakangan ramai menjadi bahan obrolan dan menjadi idola banyak orang, kebanyakan menjadikan tokoh utama yang brengsek, melakukan hal-hal buruk, tapi mengajak para penontonnya berpikir bahwa tokoh tersebut keren.

Dan ini tidak terbatas pada film laga saja, karena kisah-kisah cinta juga sering menampilkan tokoh yang demikian. Kiranya, ini berasal dari kesadaran bahwa tidak ada persona yang sempurna, sehingga ketika lingkungan kita hidup menuntut kita untuk selalu benar, menjungkirbalikkan otak kita dan membenarkan pilihan-pilihan yang kita ambil, yang aslinya sebuah kesalahan, tetapi entah bagaimana kita merasa sangar dan keren ketika melakukannya.

Penulisan yang malas, menjadi sebab tokoh-tokoh jahat menjadi jamak muncul. Bagi saya, orang baik bukanlah orang jahat yang melakukan kebaikan satu kali, seperti yang digambarkan dalam film-film. Orang baik adalah orang yang tak menyerah berbuat baik, meskipun kebaikan tak selalu berbalas dengan kebaikan juga, dan acap kali dia juga melakukan kesalahan. Dan dalam sepuluhan tahun terakhir, kita seolah digiring untuk percaya bahwa “menjadi baik itu membosankan”. Dan menjadi pemberontak, melawan arus, kasar, sarkastik, dan brutal menjadi standar baru kekerenan.

Tokoh Superman, misalnya. Alien yang dididik bak pramuka oleh orang tua angkatnya ini menjadi sangat membosankan (dibuat membosankan) sampai-sampai akhirnya diubah menjadi tokoh yang mendobrak nilai-nilai kebenaran yang selama ini menjadi desain dasar penciptaan tokoh Superman itu sendiri. Di kubu lain, Captain America justru mendapatkan tingkat kekaguman tertinggi ketika tampil urakan, melawan perintah, dan menjadi orang buangan.

Apa yang bisa disimpulkan? Bahwa hidup jangan lurus-lurus amat? Bahwa berbuat jahat itu sebuah kewajaran di tengah kehidupan yang penuh kebencian ini? Ketika saya berangkat ke kantor menggunakan ojek daring, tak ada satupun kebencian yang saya temukan. Saya disapa dengan ramah oleh tukang ojeknya, juga disapa tetangga saya yang kebetulan sedang menyapu halaman rumahnya, ketika sepeda motor kami secara tak sengaja tersenggol pengendara lain saat berhenti di lampu merah, orang tersebut nampak dengan sungguh meminta maaf dan menunjukkan penyesalannya.

Setelah turun, saya pun disapa oleh pegawai lain dengan ramah. Satu-satunya kebencian yang saya temui adalah ketika saya mengambil telepon seluler saya dan membuka media sosial. Disana saya jumpai orang berkata kasar hanya untuk menujukkan argumen bahwa dialah yang benar, ada juga yang memaki tapi tidak sungguhan bermaksud untuk itu, umpatan juga jamak dipamerkan meskipun patut diduga hanya sebuah kelakar. Ada juga yang slaah paham akan sebuah lelucon dan membalasnya dengan kemarahan. Dan tak jarang juga saya temui, perseteruan jemari di atas layar gawai berujung pada perhelatan adu jotos.

Saya paham, tetap ada kejahatan di muka bumi ini. Sejak dulu hingga kini. Namun, meskipun selalu saja ada kejahatan dan atau ketidakadilan di dunia ini, tidak semuanya kita alami sendiri, bukan? Dan bukankah seharusnya yang mempengaruhi pola pikir dan membolak-balikkan perasaan kita akan sesuatu dalam kemasan kebencian itu sesuatu yang benar-benar kita alami sendiri, bukan?

Misalkan saya membaca berita perkosaan, saya memang wajib mengutuk dan membenci pelakunya. Tapi kebencian yang ada, harusnya tidak menggeser kewarasan kita seolah-olah saya sendiri yang menjadi korban. Saya juga tidak perlu untuk merangkai-rangkai kalimat dan merekayasa skenario hukuman paling sadis dan kreatif bagi si pelaku, bukan? Siapa yang dicoba tuk dipuaskan ketika ada seseorang yang menuliskan satu paragraf lengkap berisi tentang tata cara penghakiman pelaku perkosaan dengan metode paling sadis, kreatif, sekaligus (entah bagaimana) lucu dan menggelitik hati? Apakah dia sendang memperjuangkan keadilan? Saya rasa tidak. Dia sedang memberi makan kebengisannya sendiri.

Bisa juga ditemui tentang seseorang yang terpengaruh berita-berita yang terjadi ribuan kilometer dari rumahnya, sehingga dia merasa hal itu juga tengah terjadi di tempatnya berada, padahal tidak. Banyak kawan saya yang saking bencinya dengan kondisi penduduk sebuah negara yang menjadi korban kekejaman negara tetangganya, alih-alih dia berangkat ke negara itu untuk menyumbangkan tenaga demi kebaikan negara yang dijajah itu, dia malah sibuk mengutuk negaranya sendiri, seolah-olah apa yang terjadi nun jauh di sana, terjadi di sini.

Narasi-narasi kebaikan yang tak bisa dipungkiri memang sering disalahgunakan, belakangan nampak dinafikan semuanya. Semua hal positif, kalaulah tak dianggap dusta, dianggap hiperbola. Kebengisan kita juga makian bergeser secara mengerikan. Kita bisa melihat rekaman orang terlindas mobil, dengan komentar di bawahnya bahwa kejadian tersebut belum apa-apanya jika dibandingkan dengan rekaman kecelakaan yang lain.

Barangkali, dunia memang makin jahat, dan salah satu sebabnya adalah karena kita berhenti mencoba tidak menjadi salah satu penjahatnya. Bayi-bayi terlahir polos setiap harinya, lalu diwarisi kisah-kisah kelam tentang dunia sejak belia oleh orang tua dan lingkungannya. Apa yang kita harapkan dari sana?

Kembali soal film, akan sangat mengerikan jika moral kita dibentuk dari film-film Hollywood, misalnya. Sedangkan kita sama-sama tahu, Hollywood tidak pernah menjadi tolok ukur nilai moral bagi umat manusia.

Jika kalian merasa bahwa berbuat jahat akan menguntungkan bagi pelakunya dalam kurun waktu yang singkat, tapi tidak akan menguntungkan dalam waktu panjang, akan ada suara yang berbisik:

“YOLO!”, bahwa toh hidup memang singkat saja, kenapa tak dihabiskan untuk menyenangkan diri sendiri? Jernihkan kepala kalian, dan belokkan pikiran itu dengan kesadaran bahwa justru karena hidup ini singkat, maka sebisa mungkin tidak melukai terlalu banyak orang, apalagi mereka yang sama sekali tidak kita kenal.

Setiap dari kita punya perang personalnya masing-masing. Saya tak ingin menambahi masalah bagi orang lain yang sejatinya tak ada hubungannya dengan saya. Jika tak bisa membantu, setidaknya jangan mengganggu. Dan di era internet ini, apapun yang terjadi di sana, saya tak perlu menjadikan semuanya sebagai masalah saya, bukan?