Selamat

Dalam perbincangan dunia maya, saya menemukan: “Bagiku, pernikahan itu bukan prestasi, makanya aku ogah mengucapkan selamat kepada yang menikah, kecuali terpaksa agar orang-orang gak rewel soal itu.”.

Saya ngunandika, ngomong sendiri, tentang bagaimana saya selama ini. Saya juga jarang mengucapkan selamat ke banyak orang tentang banyak hal, tapi kebanyakan lebih karena ketidaktahuan saya dan atau karena keengganan saya untuk memaksakan diri untuk tampil mengucapkan selamat di depan khalayak ramai (katakanlah, saya itu canggung soal protokol sosial).

Tapi begini, jika sampeyan menjumpai saya mengucapkan selamat kepada orang lain, itu lebih banyak terjadi karena saya mencoba memosisikan diri sebagai orang lain.

Jika saya mengucapkan selamat kepada orang yang baru menikah, atau baru membeli sepeda motor baru, atau karena seseorang bertambah koleksi perangkonya, itu karena saya yakin bahwa orang-orang tersebut tengah berbahagia.

Diucapkan atau tidak, mereka tetap melangsungkan pernikahan, tetap membeli sepeda motor baru dan tetap punya perangko langka yang lama diidam-idamkan. Ini tentang mereka yang dari sudut pandang saya tengah berbahagia.

Saya selalu mencoba agar urusan orang lain tidak menjadi urusan saya. Kebahagiaan orang lain, sebisa mungkin tidak saya jadikan urusan saya. Pun demikian dengan derita orang lain.

Jika ada yang curhat tengah bersedih, bisa membantu atau tidak, saya benar-benar menahan diri untuk tidak menceritakan penderitaan yang sedang atau pernah saya alami, saya tak ingin mengubah curhatnya seseorang agar jadi tentang saya. Ini bukan lomba.

Jika ada yang cerita tak punya duit, bisa membantu ataupun tidak, maka saya berusaha agar tidak malah:

“Wah, aku pernah lebih parah, pas itu babar blas ndak pegang uang, eh anak istriku masuk rumah sakit, cicilan mobil belum dibayar, dan Ibu di kampung nelpon minta bantuan buat mbenerin atap rumah.”.

Ini tentang dia, bukan saya.

Kejahatan namanya kalau saya menjadikan kehidupan orang lain, apalagi kehidupan semua orang menjadi tentang saya, bahwa saya harus menjadi pusat semesta.

Maka saya mengucapkan selamat bagi yang baru menikah, terlepas apakah saya masih percaya dengan lembaga pernikahan atau tidak, juga terlepas dari saya ingin berpoligami ataupun tidak. Saya mengucapkan juga kepada yang baru beli sepeda motor, terlepas dari apakah kemudian saya ketularan punya sepeda motor baru apa tidak. Saya juga mengucapkan selamat bagi yang koleksi perangkonya bertambah, tanpa ada sedikitpun kekhawatiran bahwa saya akan ketularan jadi filatelis seperti dia.

Ini tentang mereka yang berbahagia, dan yang dijadikan sebagai urusan saya itu sebatas mengucapinya selamat. Tidak ikut mbayari mahar, tidak mbantu ngangsur cicilannya dan tidak ikut repot merawat perangkonya.

Oh iya, omong-omong, selamat Natal, ya!

Leave a comment