Hidup Yang Hari Ini Bayar, Besok Gratis

Asal kamu ketahui, Adik punya banyak kawan yang sayang dan peduli denganmu. Bagi mereka, Adik itu pengejawantahan tentang bahwa kehidupan adalah rentetan tawa kebahagiaan. Mereka ingin berkawan denganmu dan bahkan ingin menjadi dirimu. Bahwa menurutmu hidup itu layaknya sinetron komedi stripping, lengkap dengan trek tawa yang direkam sebelumnya. Makanya mereka kaget, ketika tahu bahwa tubuhmu penuh luka, dan mulai nampak bernanah.

Aku tidak kaget, Dik. Aku selalu sesumbar bahwa jika kemampuan super itu ada, maka kepunyaanku adalah mengenali luka. Aku tak terkejut, jika segala tawa milikmu, menutupi luka menganga yang lebar. Luka yang hanya dirawat sendiri secara coba-coba dan katanya.

Memang, luka kita ya hanya kita yang bisa untuk merawatnya. Tiap orang punya lukanya sendiri. Aku punya teori, bahwa mereka yang terluka akan mengenali satu sama lain. Percaya benar aku dengan kalimat itu. Jika aku menahbiskan diri menjadi nabi, aku akan menjadikan itu sebagai fatwa pertamaku.

Namun aku tak mendekatimu, menanyakan apa masalahmu, lalu dengan penuh percaya diri memberi solusi secara cuma-cuma. Tidak, aku bukan kakak yang semacam itu. Dari semua orang, aku paling mengenal diriku sendiri. Tahu benar siapa aku.

Aku adalah orang yang selalu melihat segala sesuatu dari sisi gelapnya. Melihat mentari, terpikir mendung. Mengecap gula, membayangkan jamu. Menghirup sejuk udara pegunungan, takut keracunan aku.

Jika ada waktu, coba kamu ingat-ingat, semua interaksi kita berdua, baik tatap muka maupun tatap gawai, setiap kata-kataku, kuselipkan sayap pada maknanya. Setiap guyon, setiap plesetan, setiap satire, mengerucut pada usaha untuk bilang padamu: “Kamu kenapa?”.

Sayangnya nyaliku ciut untuk dengan gagah bertanya langsung. Aku hanya mengawasimu dari jauh, dari apa yang kau ucap melalui tarian jari di papan ketik gawaimu. Suatu kali, pernah kutitipkan perintah pada salah satu teman kita, agar rajin mengajakmu makan.

Iya, aku malah menyuruh orang agar mengajakmu makan.

Karena aku tahu, saat hati babak bundas luluh lantak, makan adalah hal terakhir yang terpikirkan. Makan memang bisa jadi pelarian, tapi takkan bisa kamu makan saat kakimu sudah tak bisa diajak berlari, bukan?

Aku memang sengaja tak menyapamu secara langsung karena dua hal. Pertama, aku tak pandai mengawani mereka yang bersedih. Kedua, terlalu gegabah jika sedikit saja kau merasa bisa memberi solusi kepadamu.

Dari saja aku memikirikan formula nasehat bernafas solusi paling mutakhir saja aku kewalahan. Mau menyuruhmu lekas bangkit, buat apa? Bukankah terburu-buru itu tak bagus? Hendak memintamu bertahan, aku takut kamu balik bertanya buat apa! Benar-benar tak ada solusi lain yang terlintas lagi di kepalaku. Agar kamu makan itulah nasehat terbaikku, nampaknya. Akan bilang semua akan baik-baik saja, aku saja tertawa dengan konsep yang sedemikian.

Dik, apapun keputusanmu dan dia, aku yakin benar, sudah kalian pikirkan matang-matang. Bahwa ini yang nampak paling baik dari semua yang ada. Dan aku percaya, bukan baru kemarin-kemarin saja kamu memikirkan jalan keluar, bukan? Aku yang pelari marathon kehidupan ini yakin benar, bahwa di sela-sela pelarianmu, kamu selalu kembali memikirkan jalan keluar.

Kamu lari ke sana ke mari, karena makin dipikir, makin tak juga ketemu solusi yang enak. Kamu lari lagi, ke sana kemari. Hingga akhirnya kakimu menyerah, dan mau tak mau kamu menghadapinya meski tahu kamu sudah lama kalah.

Dik, kamu tak sendiri, tapi kamu sendiri yang bisa merasa dan harus kamu sendiri pula yang menghadapi semua. Duh, kembali lagi, aku hanya punya solusi untuk menyuruhmu tak telat makan. Ya sudah jika kamu akhirnya memutuskan untuk menyudahi semuanya. Hadapi saja.

Pada akhirnya, apapun yang terjadi hari ini, segetir apapun itu, telanlah! Sekeras apapun, kunyahlah lalu telan! Seberat apapun, pikul! Setidaknya hari ini.

Nah, Adik ingat stiker angkot jaman dulu yang bertuliskan: “Hari ini bayar, besok gratis”?

Leave a comment