Hobi/Pelarian

Kira-kira bagian dari masa lalu apa yang bakalan menggigit pantatku kali ini? Begitulah isi pikiranku belakangan. Masa lalu memang usai, tapi sepanjang para pelakunya masih bernafas dan melata di muka bumi, masih ada kemungkinan akan hadir di babak-babak baru kehidupan, namun dengan rasa yang sama.

Ah! Mungkin ini pikiranku saja yang belakangan makin mudah bosan akan segala sesuatu. Dulu kupikir aku tak bisa jenuh dengan mi goreng instan kesukaanku. Tetapi seperti yang kubaca di Twitter beberapa waktu lalu, aku sepakat bahwa mi instan itu tak sungguhan nikmat.

Jika dipikir-pikir, panganan sejenis itu hanya nikmat ketika teramat lapar, tak ingin ribet dan bosan, serta ketika tak ada panganan lain. Tapi faktor kebosanan akan rutinitas yang menyebabkan mi banjir MSG itu terasa enak. Semacam pelarian dan romantisasi saja.

Bicara soal bosan, aku juga teringat beberapa hal. Sepedaku juga ngejogrok di sudut rumah begitu saja. Tak banyak kenangan bersepeda dengannya, karena memang sepeda itu kubeli ketika ramai orang membeli sepeda. Kupikir, aku ini malas berolah raga, meski kuakui aku sangat membutuhkannya. Usiaku tak lagi muda, hidup sendiri dan badanku betulan tidak proporsional, setidaknya jika menurut standar majalah-majalah gaya hidup moderen.

Orang-orang juga bilang, di usiaku saat ini aku mesti mulai menjaga gaya hidupku. Terutama pola makan. Maka dari itu, di tengah sensasi banyak orang bersepeda, aku latah ikutan membelinya dengan merogoh uang tabunganku dengan agak dalam. Tak tahu pasti berapa kali aku pakai bersepeda, di atas lima kali namun kuyakin di bawah sepuluh kali. Ya, semalas itu.

Soal alasan kenapa aku berhenti bersepeda sejatinya sama dengan hal-hal lain yang aku coba sebelumnya. Di dinding kamarku ada gitar listrik yang entah sejak kapan kubiarkan tergantung di sana, dalam kondisi agak melengkung, senarnya berkarat dan penuh debu juga sarang laba-laba.

Di rak lemari ada juga robot-robotan yang tak kelar kurakit. Kubiarkan saja di sana, tanpa pernah punya niatan menyelesaikannya. Ada juga peralatan perbaikan telepon selular yang ngumpet di bawah rak sepatu, yang dulu kubeli lengkap dengan buku-buku tentang cara praktis belajar memperbaiki ponsel. Seingatku aku menyerah di percobaan pertama.

Dan tentu saja, saking tak istimewanya, sama seperti kebanyakan teman-temanku, aku juga menjadi penimbun buku. Buku-buku yang melegenda yang ditulis jaman dulu ataupun yang kontemporer ramai dijadikan buah bibir masa kini, semua kubeli dan tentu saja tak kubaca.

Bahkan banyak dari buku-buku itu yang tak hanya sampul plastiknya tak kubuka, beberapa bahkan masih dibalut kertas cokelat, sama persis dengan kali pertama kuterima dari kurir karena kubeli dari penjual daring. Dengan kondisi buku-buku yang seperti itu, aku kemudian mencari-cari alasan keren, bahwa dengan tetap terbungkusnya buku-bukuku itu, maka kondisinya akan tetap bagus, terlindung dari air dan debu.

Keparat benar otakku ketika mencari alasan.

Kemampuanku membaca memang menyedihkan sejak dulu, tapi jujur kuakui, saat ini kondisinya makin parah. Kalian tahu utas panjang berangkai di Twitter yang sering disebut “kultwit”? Itupun aku masih sering mencari respon warganet lain, mencari apakah ada yang sudah merangkum utas tersebut dalam satu kalimat. Semalas itu.

Aku tahu pentingnya membaca. Aku juga paham, banyaknya kebodohan manusia moderen yang terjadi karena kemalasan membaca. Dan aku juga tak malu-malu mengakui soal sedikitnya durasi membacaku. Soal apakah aku lantas mencari cara agar memperbaiki kemampuan membacaku, itu lain soal.

Aku butuh waktu jika ditanya apa film kesukaanku, apa lagu kesukaanku, siapa penyanyi idolaku, dan sebagainya. Biasanya pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan kujawab sekenanya, dengan menyebut nama yang paling dulu terlintas di kepala. Toh, obrolan macam begitu biasanya sekadar basa-basi saja, pikirku.

Tak ada yang benar-benar penting. Aha! Ketemu juga. Jangan-jangan selama ini, aku hidup menyedihkan begini disebabkan karena tak ada hal yang menyita perhatianku sungguh-sungguh. Semua kuperlakukan sama. Ide baru dan ide lama sama-sama kuabaikan. Geliat rasa yang menyeruak di dada kutanggapi dengan sinis: “Ntar juga hambar!”.

Tiap kali melihat orang lain nampak bahagia, aku sibuk mereka-reka cerita. Bahwa mereka tak sungguhan bahagia. Atau bahwa aslinya mereka diam-diam menangis. Siapa yang tahu, kan?

Kayaknya betul, inilah yang membuatku tak bahagia. Bahwa aku tak sungguh-sungguh hidup. Sebentar, biar kukutip kalimat masyhur dari pesohor yang kulupa namanya dan aku malas mencarinya di mesin pencari:

“Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.”

Akulah babi dan kera itu. Sialan. Aku harus berubah. Hidupku mesti berarti. Baiklah, inilah kelahiranku yang baru. Oke. Habis check out belanjaan, aku mau tidur biar siap menjalani hari baru besoknya.

Hhhhh… Tak sabar rasanya. Nanti begitu perlengkapan berkebun hidroponikku sampai, aku akan menyibukkan diri dengan berkebun.

Semoga!

2 comments
  1. Mantap bang. Sudah lama saya menunggu. Akhirnya penulis favorit saya menulis lagi. Sama bang Saya pikir Saya juga mengalami seperti abang, mungkin krisis paruh baya.

    • BNGPY said:

      Padahal itu fiksi. Kayak ini.

Leave a comment